Pelayanan Amburadul, Pelanggan PLN Sistem Token Kecewa
KARAWANG, (PRLM).-Sejumlah pelanggan
Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang menggunakan sistem pulsa listrik
(token/voucher listrik isi ulang) mengaku kecewa terhadap pelayanan
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut. Sebab, dalam satu bulan
terakhir ini mereka kesulitan dalam melakukan isi ulang pulsa listrik
(token) di rumah mereka masing-masing.
Bahkan, sejumlah pelanggan sempat terputus aliran listriknya hanya gara-gara tidak bisa melakukan isi ulang token. "Bukan kami tidak mampu membeli pulsa listrik tersebut, namun voucher isi ulang listriknya yang sulit didapat," ujar salah seorang pelanggan PLN, Evi Aryanti, warga Perumnas Telukjambe, Blok PG ,No.6, Telukjambe Timur, Minggu (11/5).
Dikatakan, pembelian token elektrik pun tidak bisa dilakukan dengan dalih sedang ada gangguan pada sistem penjualan di PLN. Padahal, token isi ulang tersebut sangat diperlukan dan tidak bisa ditunda karena aliran listrik akan terputus dengan sendirimya jika pelanggan tidak melakukan isi ulang.
Menurut Evi, kesulitan tersebut telah dirasakannya sejak awal April lalu. Saat itu, dirinya tidak bisa membeli token elektrik, namun harus membeli token berbentuk voucher yang prosesnya cukup sulit dan lama.
Pelanggan, lanjut Evi, tidak bisa berbuat banyak karena memang butuh untuk mengisi ulang pulsa listriknya masing-masing. Padahal, pembelian token berbentuk voucher membutuhkan biaya tambahan.
Dijelaskan, pembelian token elektrik dengan nominal Rp 50 ribu, pelanggan cukup mengeluarkan uang sesuai nominalnya yakni Rp 50 ribu. Namun token berbentuk voucher dengan nominal Rp 50 ribu harus dibeli seharga Rp 53 ribu hingga Rp 55 ribu.
Kerugian lain, sambung Evi, token elektrik nominal Rp 50 ribu dengan daya 2200 volt jika diisikan pada alat meteran listrik di rumahnya akan tertera angka Rp 46.000 ribu. Namun, token voucher dengan nominal yang sama hanya akan masuk Rp 43 ribu.
Masih menurut Evi, memasuki awal Mei 2014 pembelian token lebih sulit lagi. Pelanggan hanya bisa membeli token dengan nominal di bawah Rp 50 ribu, yakni Rp 20 ribu dan Rp 10 ribu saja.
Akibatnya, pelanggan harus membeli token secara mencicil. Padahal biaya adminstrasi pembelian token Rp 100 ribu, Rp 50 ribu, dengan Rp 20 ribu dan Rp 10 ribu sama saja.
"Sepertinya PLN ingin mendapatkan biaya adminstrasi sebanyak-banyaknya. Kami dipaksa membeli token nominal kecil, karena nominal yang besar tidak bisa diproses," ujar Evi dengan nada kesal.
Atas kejadian tersebut Evi berharap PLN lebih profesional dalam menjalankan tugasnya. "PLN jangan menjadikan pelanggan sebagai sapi perahan. Kalau mereka meluncurkan program isi ulang yang perangkatnya harus disiapkan, jangan sampai pelanggan menjadi korban oleh program yang belum siap itu," ujar Evi. (Dodo Rihanto/A-89)
Bahkan, sejumlah pelanggan sempat terputus aliran listriknya hanya gara-gara tidak bisa melakukan isi ulang token. "Bukan kami tidak mampu membeli pulsa listrik tersebut, namun voucher isi ulang listriknya yang sulit didapat," ujar salah seorang pelanggan PLN, Evi Aryanti, warga Perumnas Telukjambe, Blok PG ,No.6, Telukjambe Timur, Minggu (11/5).
Dikatakan, pembelian token elektrik pun tidak bisa dilakukan dengan dalih sedang ada gangguan pada sistem penjualan di PLN. Padahal, token isi ulang tersebut sangat diperlukan dan tidak bisa ditunda karena aliran listrik akan terputus dengan sendirimya jika pelanggan tidak melakukan isi ulang.
Menurut Evi, kesulitan tersebut telah dirasakannya sejak awal April lalu. Saat itu, dirinya tidak bisa membeli token elektrik, namun harus membeli token berbentuk voucher yang prosesnya cukup sulit dan lama.
Pelanggan, lanjut Evi, tidak bisa berbuat banyak karena memang butuh untuk mengisi ulang pulsa listriknya masing-masing. Padahal, pembelian token berbentuk voucher membutuhkan biaya tambahan.
Dijelaskan, pembelian token elektrik dengan nominal Rp 50 ribu, pelanggan cukup mengeluarkan uang sesuai nominalnya yakni Rp 50 ribu. Namun token berbentuk voucher dengan nominal Rp 50 ribu harus dibeli seharga Rp 53 ribu hingga Rp 55 ribu.
Kerugian lain, sambung Evi, token elektrik nominal Rp 50 ribu dengan daya 2200 volt jika diisikan pada alat meteran listrik di rumahnya akan tertera angka Rp 46.000 ribu. Namun, token voucher dengan nominal yang sama hanya akan masuk Rp 43 ribu.
Masih menurut Evi, memasuki awal Mei 2014 pembelian token lebih sulit lagi. Pelanggan hanya bisa membeli token dengan nominal di bawah Rp 50 ribu, yakni Rp 20 ribu dan Rp 10 ribu saja.
Akibatnya, pelanggan harus membeli token secara mencicil. Padahal biaya adminstrasi pembelian token Rp 100 ribu, Rp 50 ribu, dengan Rp 20 ribu dan Rp 10 ribu sama saja.
"Sepertinya PLN ingin mendapatkan biaya adminstrasi sebanyak-banyaknya. Kami dipaksa membeli token nominal kecil, karena nominal yang besar tidak bisa diproses," ujar Evi dengan nada kesal.
Atas kejadian tersebut Evi berharap PLN lebih profesional dalam menjalankan tugasnya. "PLN jangan menjadikan pelanggan sebagai sapi perahan. Kalau mereka meluncurkan program isi ulang yang perangkatnya harus disiapkan, jangan sampai pelanggan menjadi korban oleh program yang belum siap itu," ujar Evi. (Dodo Rihanto/A-89)
No comments:
Post a Comment